Oleh: Drs Yance, M.Si
Pandemi Covid 19 telah mengubah banyak norma, kebiasaan cara hidup manusia. Berbagai algoritma diciptakan dan diberlakukan di berbagai aspek dan sektor kehidupan. Algoritma tata cara berinteraksi antar manusia dan tata cara memanfaatkan fasilitas kehidupan modern dibuat dengan tujuan agar dapat mengendalikan penyebaran virus Corona. Slogan 5 M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mengurangi mobilitas dan menghindari kerumunan) segera jadi populer.
Salah satu substansi algoritma yang dibuat adalah memperlakukan orang yang memakai masker sebagai VIP ( Very Important Person ), sekaligus menempatkan orang yang tidak memakai masker ke dalam kelompok Paria. Para pemakai masker bebas memasuki area apa saja dan menggunakan fasilitas apa saja. Mereka disambut ramah oleh seluruh pengelola berbagai unit utilitas. Perlakuan sebaliknya diterima oleh orang yang tidak memakai masker, ditolak dan dipinggirkan.
Kondisi itu membuat orang segera memborong dan menimbun stok masker sebanyak banyaknya. Masker mendadak jadi komoditi primadona, sehingga barang itu jadi langka di pasaran. Sesuai dengan hukum penawaran dan permintaan di dalam ilmu ekonomi, harga masker melonjak tinggi, di luar batas kewajaran. Kondisi itu mendorong para produsen membuat masker sebanyak banyaknya dan meraih laba besar. Hal ini mendorong para pelaku bisnis yang sebelumnya tidak memproduksi masker, ikut latah menjadi produsen masker. Akibatnya, memasuki tahun ke dua masa pandemi Covid 19, masker membanjiri pasar seperti air bah.
Seluruh apotik dan pasar swalayan tidak mampu lagi menampung limpahan produksi masker. Untuk memperlancar aliran produksi masker, orang didorong menjadi pedagang dadakan dengan menjual hanya satu jenis produk yaitu masker. Di sepanjang pinggir jalan protokol bermunculan pedagang kaki lima khusus menjual masker. Jumlah pedagang masker sudah mengimbangi jumlah pedagang makanan. Kompetisi di relung itu sudah sangat keras. Untuk memenangkan kompetisi dan menarik pembeli, terjadi perang harga di antara para produsen dan para pengecer. Akibatnya harga masker jatuh hingga ke tingkat yang tidak masuk akal. Ketika di awal masa pandemi, harga masker berada di kisaran Rp. 100.000 160.000 per kotak, isi 50 lembar per kotak, tergantung pada kualitasnya. Sekarang harga masker yang dipasarkan di pinggir jalan berkisar hanya Rp. 10.000 15.000 per kotak (isi 50 lembar per kotak). Dengan harga sekian sudah jelas kualitas masker yang dijual, pasti sangat buruk, tidak sesuai dengan peruntukannya.
Mengikuti dalil kajian artefak (benda buatan manusia), kita dapat melihat dengan jelas telah terjadi perubahan fungsi masker. Pada setiap artefak, aspek bentuk, paling mudah diamati. Dengan observasi dan sentuhan sederhana telah terjadi penyusutan jumlah layer (lapisan) ketebalan tiap layer, kualitas bahan antara masker produksi tahun lalu dengan produksi sekarang. Setelah aspek bentuk, berikutnya terlihat aspek struktur masker. Masker buatan sekarang strukturnya terlihat lebih sederhana dan teksturnya lebih kasar.
Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi penyusutan kerapatan molekul tiap lapisan masker. Struktur demikian memberi petunjuk bahwa proses, pembuatan masker telah direduksi ditinjau dari aspek teknologi yang digunakan dan durasi waktu yang dibutuhkan untuk membuat masker. Dengan memperhatikan aspek bentuk, struktur dan proses, dapat dilihat dengan jelas bahwa masker yang dibuat secara masal dan berkualitas buruk, sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsi sebagai proteksi.
Masker dibuat untuk memproteksi para pemakainya dari paparan virus, bakteri yang bertebaran di udara. Kalau demikian halnya, kenapa masker berkualitas buruk masih tetap dibeli orang?. Hal ini terjadi karena tiap orang sadar, dirinya akan terganjal oleh berbagai algoritma yang dibuat di masa pandemi. Dengan memakai masker, tidak penting soal kualitasnya, orang akan terbebas dari hadangan algoritma. Yang penting pakai masker, maka semua urusan berjalan lancar. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa telah terjadi perubahan fungsi masker, dari fungsi proteksi (medis), ke fungsi aksesoris. Masker sudah menjadi aksesoris wajib, tanpa mempertimbangkan kemampuannya menjalankan fungsi proteksi. Kajian berikutnya akan merambat ke aspek simbol.
Oleh karena fungsi aksesoris sudah lebih menonjol dari fungsi proteksi, maka masker dapat dijadikan simbol status. Masker berkualitas tinggi dan berharga mahal ( mencapai Rp.200.000 per kotak berisi 10 helai ), dibeli oleh kelompok elit. Mengingat harganya yang mahal, golongan elitpun menggunakannya tidak setiap hari, hanya kalau ada momen pertemuan. Untuk keperluan sehari hari mereka masih menggunakan masker berkualitas menengah. Golongan masyarakat menengah ke bawah menggunakan masker berharga mahal pada saat ada momen penting saja. Uraian di atas dengan jelas menunjukkan bahwa masker telah mengalami perubahan fungsi, dan dijadikan atribut simbol status. Masker telah mengalami transformasi fungsi artefak dari artefak teknomik, menjadi artefak sosioteknik.
Dalam satu abad terakhir, hanya ada dua jenis artefak yang keberadaannya sangat fenomenal yaitu plastik dan masker. Begitu meluasnya penggunaan ke dua artefak Itu, sehingga sudah menunjukkan keberadaannya di berbagai lapisan / formasi batuan / stratigrafi geologis dan lapisan top soil permukaan tanah serta di timbunan sampah, tempat pembuangan sampah. Kedua artefak itu melalui proses taphonomi (proses transformasi oleh alam dan budaya yang dialami artefak) sejak dari tempat pembuangan sampah di tiap rumah hingga Tempat Pembuangan Akhir ( TPA ), dan mendeposit di lapisan bawah permukaan tanah. Hal ini semakin menegaskan sinyalemen bahwa kita sekarang sudah meninggalkan epoch holocene, memasuki epoch anthropocene. Dalam epoch anthropocene, manusia yang memproduksi segala benda fabrikasi sudah turut andil dalam proses pembentukan formasi batuan geologis dan dapat diobservasi dengan jelas.
Salam sehat dari Yance di De La Rive Ouest.